Oleh : Wahyu Kusumaningrum
Universitas Gadjah Mada (2009)
I. Pendahuluan
Islam menekankan pada keadilan sosial. Pembayaran zakat merupakan salah satu contoh penekanan tersebut. Zakat merupakan salah satu dari lima pilar dalam Islam. Akuntansi memainkan peranan yang sangat penting bagi Muslim untuk memenuhi kewajiban membayar zakat tersebut. Informasi akuntansi memungkinkan tiap-tiap individu menghitung jumlah kewajiban zakat yang harus mereka bayarkan. Literatur mengenai pengaruh Islam terhadap akuntansi pun telah berubah dari studi normatif yang berfokus pada penyediaan informasi ke membantu stakeholder dalam perhitungan zakat.
Masalah yang kemudian muncul adalah dasar penilaian apakah yang seharusnya digunakan untuk perhitungan zakat. Beberapa ahli mendukung penggunaan historical cost yang dinilai lebih reliable dan verifiable. Namun demikian, banyak ahli yang berpendapat bahwa current value-lah yang seharusnya digunakan dalam perhitungan zakat.
II. Pembahasan
a. Tujuan Pelaporan Keuangan dalam Akuntansi Islam
Gambling dan Karim (1986) seperti yang dikemukakan kembali oleh Napier (2007) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi komunitas Islam yang kemungkinan mempengaruhi sistem akuntansi Islam dan kebutuhan pengguna Islam terkait pelaporan keuangan. Faktor-faktor tersebut meliputi:
- Pengaruh Al Quran dan Sunnah bagi penyusun dan pengguna laporan keuangan
- Pelarangan riba
- Penggunaan specially-structured transaction untuk menggantikan perjanjian konvensional yang melibatkan riba
- Kewajiban fundamental muslim untuk membayar zakat
- Kepentingan cendikiawan dan ahli hukum Islam
Karena motivasi utama pelaporan keuangan menurut Gambling dan Karim adalah sebagai penyedia informasi yang relevan untuk perhitungan zakat, konsep konservatisme tidak relevan untuk tujuan pelaporan akuntansi Islam, begitu juga dengan penggunaan historical cost yang dijustifikasi oleh konsep konservatisme. Selain itu, klasifikasi aset dalam neraca seharusnya dilakukan sebagaimana klasifikasi kekayaan yang menjadi subyek zakat. Penilaian aset lancar berdasarkan nilai pasar akan menyebabkan pengakuan selisih antara nilai pasar dan nilai historis dalam laporan laba rugi; selisih ini merupakan subyek zakat. Gambling dan Karim juga berargumen bahwa karena sistem akuntansi yang didasarkan pada perhitungan zakat seharusnya menganalisis semua transaksi menurut pengaruhnya terhadap aset, utang, dan ekuitas, maka fokus pelaporan keuangan Islam akan bergerser dari pendekatan pendapatan-biaya ke pendekatan aset-utang.
Selain itu, pengenaan zakat akan menempatkan penilaian aset dalam konteks religious. Dasar penilaian yang seharusnya digunakan adalah nilai pasar saat ini. Banyak item dalam neraca konvensional yang juga tidak memiliki real-world-referent dan tidak merepresentasikan kekayaan dalam pengertian yang sesugguhnya (sehingga bukan menjadi subyek zakat). Oleh karena itu, aset-aset seperti goodwill, income tax benefit, dan biaya yang dikapitalisasi tidak memiliki tempat dalam rerangka kerja akuntansi Islam yang berfokus pada zakat. Penekanan pada zakat menyebabkan neraca yang dihasilkan dari sistem akuntansi konvensional tidak sesuai sarana kebutuhan informasi keuangan Islam.
b. Konsep Zakat dalam Islam
Dalam pandangan Islam, semua harta adalah milik Allah SWT dan oleh karenanya manusia wajib mengolah dan mengembangkannya sehingga dapat member manfaat dan kesejahteraan bersama. Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur tegaknya syariat Islam. Hukum menunaikan zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Ayat-ayat Al Quran yang mendasari hukum wajibnya zakat antara lain:
Al Baqarah 110 : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
At Taubah (103): “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ar Rum (39): “Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alloh. Dan yang kamu berikan kepada zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Alloh, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan hartanya.”
Zakat memiliki banyak hikmah, antara lain:
- Menolong kaum dhuafa untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehingga mereka mampu menjalankan kewajibannya terhadap Allah SWT.
- Memberantas penyakit iri hati yang biasa timbul ketika melihat kelebihan orang disekitar.
- Mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikan jiwa.
- Menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam.
- Distribusi social harta dan keseimbangan dalam kepemilikan harta.
Jenis kekayaan yang wajib dizakati adalah binatang ternak, emas dan perak, harta perniagaan, hasil pertanian, kekayaan laut, serta rikaz. Namun demikian, perkembangan perekonomian yang kompleks menimbulkan banyak sekali bentuk harta kekayaan yang dapat dikenakan zakat. Sektor-sektor dalam perekonomian modern merupakan obyek penting dalam pengenaan zakat kekayaan. Sektor industry merupakan sektor yang terus berkembang sehingga sektor ini memberikan sumber zakat yang besar dalam perekonomian modern. Perusahaan yang dimiliki muslim dapat dikenakan zakat karena suatu perusahaan mengalami suatu perkembangan harta dari aktivitas bisnisnya dan perusahaan dapat bertindak sebagai amil dalam pembayaran zakat para pemiliknya sebelum laba dibagikan kepada para pemilik.
c. Subyek Zakat Perusahaan
Zakat dibayarkan atas kekayaan bukan tergantung apakah ada laba yang telah dihasilkan atau tidak, tetapi zakat dibayarkan hanya atas “growing capital”. Pertumbuhan (grow) didefinisikan sebagai keuntungan yang atas aset tetap dan aset lancar baik yang sudah terealisasi maupun yang belum terealisasi. Untuk menentukan subyek zakat, maka perlu dilakukan pemisahan atas aset. Aset diklasifikasikan menjadi capital asset dan stock of inventories. Capital asset (fixed asset) seperti peralatan dan mesin digunakan dalam operasi bisnis utama perusahaan, sedangkan stock of inventories (current assets) digunakan untuk dijual kembali. Zakat dibayarkan atas kas, sediaan, piutang, dan sekuritas dikurangi semua utang terkait item-item tersebut. Semua keuntungan baik yang sudah terealisasi maupun belum terealisasi wajib dikenai zakat. Namun demikian, untuk kepentingan distribusi, hanya keuntungan yang telah durealisasi atas aset tetap dan aset lancar yang dapat didistribusikan sebagai deviden. (El-Badawi dan Al-Sultan, 1992)
Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa zakat dibayarkan atas net working capital. Akan tetapi, konsep akuntansi atas net working capital tidak sama dengan konsep teologis “growing” capital. “Growing" capital hanya akan sama dengan net working capital pada dua situasi. Yang pertama adalah jika tidak terdapat pendanaan utang jangka panjang atas aset lancar. Yang kedua adalah ketika tidak terdapat pendanaan jangka pendek atas aset tetap. Namun demikian, kedua skema pendanaan aset tersebut sangat jarang terjadi sehingga dapat dikatakan bahwa zakat dihitung atas net working capital.
El-Badawi dan Al-Sultan (1992) menyatakan bahwa aset wajib dikenai zakat jika memenuhi kondisi-kondisi berikut:
- Kepemilikan penuh atas aset tanpa ada pembatasan.
- Aset tersebut tumbuh atau dimaksudkan untuk tumbuh.
- Aset tersebut telah memenuhi nisab.
- Aset telah melebihi kebutuhan personal dan perdagangan.
- Aset tersebut bebas utang.
- Aset tersebut telah dipegang selama minimal satu tahun.
d. Penilaian Aset untuk Perhitungan Zakat
Prinsip penilaian aset untuk menentukan jumlah kewajiban zakat telah ditetapkan dalam syariah. Namun demikian, apa yang dijelaskan dalam syariah hanyalah panduan secara umum. Oleh karena itu, para ahli hukum Islam belum memiliki kesepakatan mengenai metode penilaian aset untuk menentukan jumlah kewajiban zakat. Beberapa ahli hukum menyarankan penggunaan nilai jual pada hari dimana jumlah zakat ditentukan, sementara ahli lain memilih menggunakan yang lebih rendah antara kos dan nilai pasar.
Beberapa cendikiawan Islam telah mendukung penggunaan historical cost. Namun, sebagian besar ahli hukum menyarankan penggunaan current value atas aset menurut harga jualnya karena hal ini sesuai dengan konsep growing capital, baik yang riil maupun estimasi.
Historical Cost dalam Paradigma Akuntansi Islam
Menurut konsep historical cost ini, aset dicatat pada jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan pada saat akuisisi aset tersebut. Kewajiban dicatat pada jumlah yang diterima dalam pertukaran obligasi. Argumen terhadap penggunaan metode penilaian ini adalah bahwa historical cost dapat dibuktikan dan objektif. Namun demikian, konsep ini telah menarik kritikan yang kuat. Kekurangan utamanya tampak dari efek perubahan harga yang timbul baik karena perubahan umum dalam daya beli dan perubahan relatif terhadap harga dari suatu item spesifik.(Napier, 2007)
Adnan dan Gaffikin (1997) mengkritik konsep historical cost dengan dasar bahwa konsep tersebut dapat menyesatkan dalam artian memberikan nilai yang telah usang. Akuntansi yang menyesatkan dianggap tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dalam bisnis dan masyarkat.
Sebagai tambahan, konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Current Value dalam Perhitungan Zakat
Isu mengenai penggunaan current value telah muncul sejak AAOIFI pertama kali didirikan. Pertimbangan religius dan praktikal memilih untuk mengacuhkan konsep tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan historical cost. Namun demikian, penilaian menggunakan current value tetap disyaratkan untuk perhitungan zakat, sebagaimana dinyatakan oleh AAOIFI dalam pernyataan konsep.
Zakat dihitung berdasarkan nilai aset yang dimiliki. Penggunaan historical cost dinilai kurang relevan dalam perhitungan zakat karena historical cost tidak mencerminkan nilai kekayaan yang sesungguhnya yang menjadi subyek zakat. Oleh karena itu, banyak ahli yang menyatakan bahwa seharusnya akuntansi Islam yang berorientasi pada zakat seharusnya menggunakan current value sebagai dasar penyusunan laporan keuangan. Mengutip hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Value at current value (market price) and then pay zakah (on it)”.
Beberapa ahli seperi Gambling dan Karim menyarankan penggunaan Chamber’s CoCoA (Continuously Contemporary Accounting) untuk tujuan penilaian. Dasar penilaian aset dalam CoCoA adalah nilai setara uang atas aset. Nilai pasar saat ini dari aset dapat diinterpretasikan berdasarkan perkiraan nilai rata-rata dari serangkaian transaksi yang terjadi atau akan terjadi jika perusahaan membeli atau menjual suatu aset. Penilaian aset tidak bergantung pada satu transaksi kos historis yang terjadi ketika perusahaan membeli aset tersebut.
Penggunaan current value accounting dalam pelaporan perusahaan Islam dianggap sebagai salah satu metode perluasan akuntabilitas perusahaan ke dalam domain sosial. Penggunaan current values untuk menentukan zakat memberikan dukungan yang lebih besar atas prinsip-prinsip keadilan Islam daripada penggunaan historical cost dalam neraca.
Hal lain yang mendukung penggunaan current value adalah praktek yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Menurut Clarke (1996) nilai pertukaran dihasilkan dari penggunaan denominator keuangan implisit pada masa Rasulullah untuk menentukan nisab atas berbagai macam aset yang menjadi subjek zakat. Selain itu, akuntansi Islam tidak mendukung konsep konservatisme yang dianut oleh Barat karena dengan menganut konsep ini maka akan lebih sedikit zakat yang dibayarkan dehingga akan berdampak terhadap anggota masyarakat miskin. Oleh karena itu sangat penting untuk menentukan kekayaan yang sesungguhnya.
Namun demikian, beberapa ahli akuntansi Islam berpendapat bahwa penggunaan current values melanggar tandeed principle. Menurut konsep ini, seharusnya tidak ada distribusi laba dari transaksi komerisal hingga pengembalian modal yang diinvestasikan dalam transaksi. Penggunaan current value menyebabkan pendistribusian laba sebelum adanya pengembalian modal. Namun demikian Shihadah (1987) melihat bahwa pengembalian modal dalam tandeed principles lebih merupakan konsep yang riil atau ekonomis daripada sekedar pengembalian modal nominal dan oleh karenanya penggunaan current value lah yang seharusnya digunakan. Baydoun dan Willet (2000) mengakui masalah paraktik terkait current values dan menyimpulkan bahwa laporan keuangan Islam seharusnya meliputi dua neraca, yaitu neraca yang menggunakan historical cost dan neraca yang menggunakan current values. Sistem ganda dalam penilaian asset ini memungkinkan perusahaan mengakomodasi kontrak dan untuk melaksanakan kewajiban sosial perusahaan.
III. Simpulan
Dalam Islam akuntansi digunakan sebagai sarana bagi umat muslim untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam pembayaran zakat dan pada akhirnya untuk mencapai keadlian social dan ekonomis. Oleh karena itu laporan keuangan seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Masalah yang kemudian muncul adalah dasar penilaian apa yang harus digunakan dalam menilai aset yang menjadi subyek zakat. Beberapa ahli menyarankan penggunaan current value, karena pendekatan ini dinilai lebih menggambarkan jumlah kekayaan sesungguhnya yang merupakan subyek zakat. Namun demikian, laporan keuangan masih harus disusun berdasarkan historical cost karena kurangnya reliabilitas current value. Oleh karena itu disarankan untuk menyajikan kedua laporan tersebut sebagai bagian yang saling melengkapi dalam pelaporan keuangan Islam.
***
Daftar Pustaka
- Al Qur’anul Karim
- Askary, Saeed. Accounting Measurement in Religious Perspective: Conservatisme or Optimisme?.
- El-Din. 2004. Issues in Accounting Standards for Islamic Financial Institutions.
- Maliah. 2003. The Influence of Riba and Zakat on Islamic Accounting. Indonesian Management and Accounting Review. Vol 2 (2). Hal 149-167.
- Mirza, Malik dan Nabil Baydoun. 1999. Accounting Policy Choice in An Interest-Free Environment.
- Napier, Christopher. 2007. Other Cultures Other Accounting? Islamic Accounting From Past to Present. Kanada: 5th Accounting History International Conference.
- Rahman, Shadia. 2007. Islamic Accounting Standard. Diakses dari http://islamic-finance.net/islamic-accounting/acctg5.html.
- Riyanti, Endang. 2007. Analisis Aplikasi Metode Perhitungan Zakat Perusahaan Studi Kasus PD Lisha Mart. STEI SEBI.
- White, Lynn Spellman. 2007. The Influence of Religion on the Globalization of Accounting Standards.
Cost-based pricing adalah metode penentuan harga dimana harga suatu produk didasarkan atas besarnya kos produk ditambah dengan mark-up keuntungan yang diinginkan. Sementara itu, market-based pricing merupakan kebalikan dari cost-based pricing. Dalam market-based pricing harga suatu produk ditentukan berdasarkan pada harga yang bersedia dibayarkan oleh konsumen atas suatu produk. Baik cost-based pricing dan market-based pricing dapat digunakan pada situasi dan keadaan yang berbeda. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi pricing tersebut.
Roger J. Best Model
Dalam bukunya "Market-Based Management", Best mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai strategi pricing mana yang seharusnya digunakan oleh perusahaan. Best menggunakan dua parameter dalam modelnya yaitu customer intelligence dan competitor intelligence.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoWu3p0K7h2D3iHfoocsvkmQVVf87u7QYY7jduY3BmSG0Jyp0snMKe8OA8it3IDNujmHoUVrIbntyGFTJs0CFSL0D1aXs05EO5tLlPRk3BfsKjAyH4ayJjGiTxLL1yMKPKxetSuQXDnaE/s400/no3.jpg)
- Cost-based pricing. Pada kondisi ini perusahaan hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai pricing competitor dan perusahaan tidak mengetahui dengan jelas seberapa besar kesediaan konsumen untuk membayar. Merupakan metode yang paling umum digunakan, berfokus pada pendekatan internal. Harga didasarkan pada kos produk/jasa + jumlah margin yang diinginkan.
- Customer-reactive pricing. Pada kondisi ini perusahaan kemungkinan mengubah harga produk jika adanya tekanan dari kustomer. Kustomer akan mengatakan bahwa mereka mendapat harga yang lebih baik dari competitor X, dan karena perusahaan tidak memiliki pemahaman mengenai produk kompetitor (harga dan nilai), hal ini akan menjadi tekanan bagi perusahaan menurunkan harga mereka.
- Competitor-reactive pricing. Pada kondisi ini perusahaan tidak/kurang mengetahui apa yang customer pikirkan mengenai perceive value dan kesediaan untuk membayar atas produk mereka. Oleh karena itu, untuk memenangkan persaingan perusahaan cenderung mengikuti harga yang digunakan oleh kompetitor.
- Market-based pricing. Pada kondisi ini perusahaan memiliki pengetahuan yang cukup banyak mengenai kustomer dan kompetitor. Perusahaan akan menetapkan harga produknya berdasarkan pengetahuan tersebut untuk bisa bersaing di pasar.
Faktor-faktor Lain
Selain kedua faktor yang disebutkan dalam model di atas, beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap pemilihan kedua strategi pricing tersebut antara lain:
Jenis produk yang dijual
Jika produk yang dijual adalah produk yang sulit dideferensiasi maka satu-satunya alat untuk bersaing adalah dengan menggunakan harga. Oleh karena itu perusahaan cenderung menetapkan harga mereka berdasarkan harga pasar. Sementara itu jika jenis produk dapat didifferensiasi maka perusahaan dapat menentukan harga berdasarkan kos produk karena produk yang ditawarkan memiliki keunikan dibanding produk kompetitor.
Strategi yang digunakan perusahaan
Jika perusahaan menggunakan price leadership sebagai strateginya maka perusahaan cenderung menetapkan harga berdasar harga produk yang paling rendah di pasar untuk memenangkan persaingan. Jika perusahaan menggunakan differensiasi maka perusahaan bisa menciptakan keunikan sendiri pada produknya untuk menciptakan nilai tambah yang tidak didapat dari produk lain dan men-charge harga yang lebih tinggi atas produk tersebut. Dalam hal ini, perusahaan akan lebih mudah menggunakan cost-based pricing.
Elastisitas permintaan produk
Jika suatu produk cenderung elastis, maka sedikit perubahan harga akan mempengaruhi jumlah permintaan. Pada kondisi seperti ini maka perusahaan cenderung menggunakan market-based pricing untuk melindungi jumlah penjualannya. Jika suatu produk bersifat unelastis maka perubahan harga tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah permintaan sehingga perusahaan tidak dihadapkan pada situasi di mana mereka harus selalu mengikuti harga pasar. Untuk produk sejenis ini perusahaan cenderung lebih memiliki kebebasan dalam menentukan harga produk sehingga lebih cocok menggunakan cost-based pricing.
Pricing freedom
Jika terdapam kebebasan yang tinggi dalam menentukan harga maka perusahaan dapat menggunakan cost-based pricing. Tetapi jika kebebasan untuk menentukan harga sendiri sangat terbatas maka perusahaan cenderung menggunakan market-based pricing. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kebebasan dalam menentukan harga ini antara lain tingkat persaingan, ada tidaknya peraturan mengenai harga, barrier to entry, substitute product, dan brand equity.
- Tingkat persaingan. Jika tingkat persaingan semakin tinggi maka perusahaan akan semakin sulit untuk menentukan harga.
- Peraturan mengenai harga. Jika ada peraturan pemerintah yang membatasi harga suatu produk maka tidak ada kebebasan dalam menentukan harga.
- Barrier to entry. Jika barrier to entry tinggi artinya semakin mudah munculnya pesaing baru sehingga semakin sulit untuk bisa menentukan harga sendiri.
- Substitute product. Jika terdapat produk pengganti maka kebebasan perusahaan menentukan harga akan semakin terbatas, karena pelanggan bisa dengan mudah berpindah pada produk pengganti.
- Brand equity. Jika perusahaan memiliki brand equity yang tinggi maka kebebasan perusahaan dalam menentukan harga akan semakin tinggi.
Referensi:
- Best, Roger J. Market-Based Management 4th Ed.Prentice Hall: New Jersey.
- www.mspalliance.blogspot.com
Agar mampu bersaing di pasar global, Toyota terus menerus melakukan strategi cost reduction dari berbagai sudut pandang, meliputi pengembangan (desain produk), produksi (metode produksi dan sistem manufaktur), dan metode pembelian material. Filosofi umum Toyota dalam cost reduction adalah mengurangi pemborosan; membuang semua elemen yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk mereka.
Kanban System
Sistem ini mulai digunakan oleh Toyota sejak tahun 1960. Dengan sistem ini suku cadang komponen diantar ke assembly line menggunakan kontainer-kontainer. Setelah kontainer tersebut dikosongkan, kontainer tersebut dikirim kembali ke proses produksi sebelumnya. Kontainer yang kosong ini menjadi sinyal untuk kembali memproduksi suku cadang. Sistem ini meminimalkan work in progress dengan meningkatkan perputaran sediaan. Pengurangan buffer inventories ini juga mempercepat pendeteksian suku cadang yang rusak dan melacak kerusakan tersebut ke sumbernya sebelum terjadi kerusakan yang lebih banyak dalam proses produksi. Dengan sistem ini Toyota mampu melakukan penghematan atas kos sediaan mereka. Sistem Kanban ini tidak hanya mereka terapkan di pabrik mereka, Toyota juga mendorong para pemasoknya untuk mengembangkan sistem yang sama sehingga mereka dapat mengurangi inventory holding cost dan menghasilkan suku cadang dengan kos yang lebih rendah.
Supply Chain Management
Perakitan komponen hingga menjadi satu kendaraan yang utuh hanya merupakan 15% dari keseluruhan proses produksi mobil. 85% sisanya merupakan proses yang dibutuhkan untuk memproduksi seluruh komponen yang dibutuhkan oleh sebuah kendaraan. Supply Chain Management yang baik dibutuhkan untuk mengelola para pemasok agar bisa mendukung proses produksi dengan baik dan dengan biaya serendah mungkin.
Toyota bertujuan memproduksi mobil dengan harga pasar yang layak sehingga member nilai bagi pelanggan. Filosofi ini menyarankan agar usaha pengurangan biaya bukan merupakan kereta satu arah menuju biaya serendah mungkin. Toyota menetapkan biaya target bagi para pemasoknya. Para pemasok harus beroperasi pada harga di mana pelanggan membayar komponen tersebut. Tujuannya adalah untuk menghilangkan pemborosan, tidak hanya di pabrik Toyota tetapi juga di pabrik pemasok dan di sistem yang saling berhubungan di antara keduanya, misalkan di sistem logistic. Toyota dengan selektif memilih satu atau dua mitra strategis untuk setiap komponen dan mendorong persaiangan di antara mereka. Masing-masing akan memperoleh kontrak ekslusif untuk komponen satu model mobil, sehingga mereka khawatir akan kehilangan pangsa pasar Toyota di masa mendatang jika mereka tidak berkinerja dengan baik. Toyota mendorong para pemasoknya untuk terus berfoskus pada perbaikan proses berkelanjutan. Kontrak dasar untuk komponen akan dibuat untuk empat ata lima tahun dengan harga ditentukan di depan. Jika usaha gabungan antara pemasok dan Toyota ini sukses mengurangi kos manufaktur dan komponen, profit tambahan akan dibagi di antara mereka. Dan jika pemasok dengan usahanya sendiri berhasil menciptakan inovasi yang mengurangi kos, maka pemasok berhak mendapatkan profit tambahan yang dihasilkan dari inovasi tersebut selama masa kontrak. Dengan melakukan investasi dalam bentuk kemitraan pemasok, Toyota memperoleh pengurangan harga dalam jangka panjang dari pemasok tanpa mengorbankan kualitas.
Toyota juga membentuk asosiasi pemasok yang terdiri dari “first- tier supplier” dan “second-tier supplier”. “First-tier supplier” bertanggungjawab bekerja bersama-sama Toyota sebagai bagian dari tim pengembangan produk baru. Tiap-tiap “first-tier supplier” ini juga bertanggung jawab membentuk “second-tier supplier”. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam “second-tier supplier” diberi pekerjaan membuat suku cadang individual. Asosiasi pemasok ini berfungsi untuk saling berbagi informasi terkait rancangan maunfaktur baru, teknik manajemen material, serta teknik produksi di antara mereka.
The CCC21 Project—Leading the Way in Toyota’s Cost-Reduction Efforts
CCC21 (Construction of Cost Competitiveness for the 21st Century) merupakan proyek cost reduction jangka pendek yang diluncurkan oleh Toyota pada bulan Juli tahun 2000. Proyek ini bertujuan untuk mencapai cost reduction skala besar untuk sekitar 170 komponen yang mencapai 90% dari total kos pembelian komponen. Dalam proyek ini staf engineering, production engineering dan departemen pembelian bekerja bersama-sama dengan para pemasok suku cadang dan bahan baku mulai dari tahap perancangan komponen untuk meningkatkan standardisasi suku cadang dan menilai kembali metode manufaktur. Bersama-sama dengan pemasoknya, Toyota berusaha mencari suku cadang paling murah di seluruh dunia.
Toyota tidak mencari peluang peningkatan pada komponen dan tahapan manufaktur secara individual tetapi melihat kepada keseluruhan sistem, mengevaluasi keseluruhan sistem dan mencari komponen yang dapat dieliminasi. Proyek ini menekankan pada pembentukan kembali empat area yang berbeda yaitu perencanaan dan perancangan, produksi, pembelian, dan biaya tetap.
Selama lima tahun terakhir proyek ini telah berhasil menciptakan penghematan sebesar US$ 9 milyar. Sebagai contoh kecil, dalam perancangan pegangan pintu, dengan bekerja bersama-sama pemasok, Toyota berhasil mengurangi jumlah suku cadang dari 34 menjadi 5 suku cadang, yang memangkas kos pembelian sebesar 40% dan mengurangi waktu instalasi yang dibutuhkan dari 12 detik menjadi 3 detik.
Enhancing Quality and Flexibility through Global Body Line (GBL)
Selain CCC21, Toyota juga melakukan inovasi lain dalam bidang produksi untuk melakukan pengurangan manufacturing cost. Inovasi ini meliputi pengembangan perlatan produksi sendiri, desain produk yang memungkinkan mereka menyederhanakan proses dan mengurangi jumlah suku cadang dan mengembangkan teknologi dan sistem manufaktur.
Sistem GBL ini telah mendatangkan serangkaian manfaat meliputi:
- 30% reduction in the time vehicle spends in the body shop
- 70% pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi bagian kendaraan
- 70% pemangkasan kos penambahan atau perubahan model
- 50% pengrangan kos investasi untuk menciptakan lini produk baru
Selain itu, sistem ini juga telah berhasil mengurangi kos operasi dan perawatan serta menghemat penggunaan tempat produksi. Dengan adanya penghematan tempat tersebut, Toyota mampu menggandakan kapasitas pabriknya. Selain itu dengan sistem ini Toyota mampu memproduksi 8 jenis kendaraan yang berbeda dalam 1 assembly line.
Value Innovation (VI)
Pada bulan April 2005, Toyota memulai aktivitas Value Innovation (VI). VI merupakan bentuk perubahan dari CCC21 yang berfokus pada cost reduction selama proses pengembangan, bahkan sebelum blueprint. Melalui aktivitas ini, Toyota memperhitungkan secara seksama baik komponen individual maupun sistem secara keseluruhan. Toyota berusaha mengurangi jumlah komponen dengan mengintegrasikan komponen dan sistem yang memiliki fungsi yang sama dan mereview fungsi dan penempatan dari sistem tersebut. Mereka juga telah mengurangi jumlah komponen dan material yang digunakan tanpa mengurangi kualitas produk dengan mereview proses produksi yang sekarang telah distandarkan.
Referensi
- Hill, Charles W L. 2004. “Toyota: Origins, Evolution, and Current Prospect” Strategic Management 7th Ed. Houghton Mifflin Company: Boston.
- Liker, Jeffrey dan David Meier. 2005. The ToyotaWay Fieldbook. Mc Graw Hill: USA.
- Toyota. 2002. Accelerating Evolution: Strengthening Cost Competitiveness. Toyota 2002 Annual Report.
- Toyota. 2008. Solid Foundation For Future Growth. Toyota 2008 Annual Report.
Tentunya masih lekat dalam ingatan kita ketika beberapa saat lalu negara tetangga kita, Malaysia mengakui angklung sebagai alat musik tradisional mereka. Tidak hanya berhenti sampai disitu mereka kemudian juga mengakui reog serta lagu rasa sayange sebagai kesenian tradisional Malaysia. Apa yang telah dilakukan Malaysia tentu saja telah melanggar batas-batas kedaulatan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, respon pemerintah terhadap hal ini nampaknya kurang menunjukkan komitmen mereka terhadap pelestarian kebudayaan Indonesia sendiri. Hal ini tentunya sangatlah memprihatinkan karena hal ini akan semakin memperburuk citra Indonesia sehingga posisi bangsa Indonesia di mata dunia semakin diragukan.
Terjadinya kasus ini tentunya menjadi tamparan yang keras bagi kita bangsa Indonesia. Salah satu faktor penyebab terjadinya hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat kesadaran serta kecintaan masyarakat Indonesia terhadap kebudayaannya yang relatif masih rendah. Datangnya berbagai kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan nlai-nilai falsafah Pancasila semakin melunturkan budaya nasional. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan nasional menyebabkan beberapa kebudayaan nasional bangsa Indonesia terancam punah. Padahal, kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa sehingga jika kebudayaan tersebut di rampas maka hilanglah identitas kita sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia. Untuk itulah diperlukan cara-cara untuk mempertahankan kebudayaan bangsa Indonesia di masa depan.
Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan dalam arti etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Budaya adalah sistem nilai yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama dan menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan. Dengan demikian budaya merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang mewujud dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang dipelajari dari berbagai sumber. Kebudayaan diciptakan oleh faktor biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan psikologis serta lingkungan sejarah.
Masyarakat Indonesia sejak awal terbentuk dengan ciri kebudayaan yang sangat beragam yang muncul karena pengaruh ruang hidup berupa kepulauan di mana ciri alamiah tiap-tiap pulau berbeda-beda. Faktor alamiah itu membentuk perbedaan khas kebudayaan masyarakat di tiap-tiap daerah sekaligus perbedaan daya tanggap inderawi serta pola kehidupan baik dalam hubungan horisontal maupun vertikal.
Berdasarkan ciri dan sifat kebudayaan serta kondisi dan konstelasi geografi negara Republik Indonesia, tampak secara jelas betapa heterogen serta uniknya masyarakat Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masinga memiliki adat istiadat, bahasa daerah, agama dan kepercayaannya sendiri. Karena itu, tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan masyarakat mengandung potensi konflik yang sangat besar, terlebih lagi kesadaran nasional masyarakat relatif masih rendah dan jumlah masyarakat terdidik relatif masih terbatas.
Aspek Ketahanan Budaya
Ketahanan di bidang kebudayaan diartikan sebagai kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan, ketangguhan, dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan kebudayaan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Wujud ketahanan tersebut tercermin dalam kehidupan sosial budaya bangsa yang mampu membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia serta mampu menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Esensi pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan sosial budaya Indonesia dengan demikian adalah pengembangan kondisi sosial budaya di mana setiap warga masyarakat dapat merealisasikan pribadi dan setiap potensi manusiawinya berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Mempertahankan Budaya Indonesia
Untuk mempertahankan kebudayaan nasional yang dimiliki bangsa dan negara Republik Indonesia ini diperlukan adanya suatu pengembangan serta pembinaan kebudayaan Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa. Pengembangan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya mutlak diperlukan dalam rangka memilah-milah budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan.
Selain itu juga diperlukan adanya pengembangan kebebasan berkreasi dalam berkesenian dengan tetap mengacu pada nilai-nilai etika, moral, estetika, agama serta nilai-nilai falsafah Pancasila. Pelestarian apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta penggalakan dan pemberdayaan sentra-sentra kesenian juga diperlukan untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif.
Dalam hal pariwisata pada khususnya diperlukan adanya suatu pengembangan pariwisata melalui suatu pendekatan yang holistik dan terintegrasi, interdisipliner dan partisipatoris. Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten.
***
Kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama dan menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan. Kebudayaan merupakan identitas nasional suatu bangsa yang berdaulat. Oleh karena itu diperlukan suatu tata cara untuk mempertahankan kebudayaan itu, karena tanpa memiliki kebudayaan maka suatu negara tidak akan memiliki identitas. Untuk mempertahankan kebudayaan bangsa Indonesia dari pengaruh penetrasi asing serta pencurian kebudayaan diperlukan suatu kolaborasi integratif antara pemerintah dan masyarakat serta diperlukan adanya pengembangan kebudayaan nasional secara interdisipliner dan partisipatoris. Jika hal tersebut dapat dicapai niscaya kita akan mampu mempertahankan kebudayaan Indonesia dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan.
Wal-Mart memiliki reputasi sebagai perusahaan terdepan dalam bisnis eceran dan teknologi distribusi tingkat dunia. Distribusi dan transportasi Wal-Mart sangat behasil karena manajemen senior menganggap itu sebagai competitive advantage. Berikut strategi dasar penggunaan TI yang dilakukan oleh Wal-Mart.
Strategi Kepemimpinan Biaya dan Diferensiasi
Wal-Mart sangat yakin bahwa komputer sangat penting untuk mengelola pertumbuhan dan menekan struktur biaya. Wal-Mart membangun jaringan satelit canggih yang menghubungkan point of sales di semua tokonya. Jaringan tersebut didesain untuk memberi para manajer dan bagian penjualan terkait informasi status penjualan serta persediaan yang paling baru agar dapat meningkatkan pemebelian produk. Selanjutnya, Wal-Mart mulai menggunakan efisiensi operasional atas sistem informasi semacam itu untuk menawarkan produk dan layanan berbiaya lebih rendah dan berkualitas lebih baik, serta melakukan diferensiasi atas dirinya dari para pesaingnya.
Strategi Inovasi
Wal-Mart melakukan strategi inovasi dengan membuat perubahan radikal atas proses bisnis dengan TI secara dramatis sehingga akan memangkas biaya, meningkatkan kualitas, efisensi, layanan pelanggan dan memangkas waktu ke pasar. Wal-Mart memiliki pusat-pusat distribusi yang berlokasi strategis di daerah-daerah niaga di seluruh AS, paling jauh jaraknya sekitar 350 mil (atau satu hari berkendaraan) dari toko-toko yang mereka layani. Tiap barang yang ada di pusat distribusi mereka dipasangi kode komputer, dan sebuah komputer melacak lokasi dan pergerakan tiap kotak barang, saat barang tersbut disimpan dan dikirmkan. Semua barang ini bergerak keluar masuk gudang di atas conveyor belt sepanjang 8,5 mil yang dituntun oleh sinar laser yang dapat membaca kode di tiap kotak dan mengirimnya ke truk yang benar.
Mereka menyimpan lebih dari 80.000 barang di toko-toko dan gudang mereka secara langsung melengkapinya dengan 85% dari inventory, dibandingkan dengan hanya 50%-65% dari pesaing mereka. Hasilnya adalah waktu sejak pemesanan lewat komputer dikirim oleh pengelola toko sampai dengan penerimaan barang hanya sekitar 2 hari – bandingkan dengan 5-6 hari oleh para pesaing mereka. Penghematan waktu dan fleksibilitas sistem ini menimbulkan penghematan biaya yang membuat investasi sistem ini menjadi investasi yang menguntungkan. Biaya Wal-Mart dalam mengirimkan barang ke toko mereka lebih rendah dari 3% sedangkan para pesaingnya antara 4.5%-5%. Jadi, jika mereka menjual suatu barang dengan harga eceran yang sama, maka Wal-Mart akan mendapat keuntungan 2.5% lebih banyak daripada para pesaingnya.
Wal-mart menggunakan AI untuk mengubah data mentah menjadi data berguna. Wal-Mart mengonsolidasikan rincian penjualan dari 3000 toko. Hasilnya memungkinkan Wal-Mart untuk memprediksi penjualan setiap produk di setiap toko dengan keakuratan yang sangat tinggi, yang kemudian menghasilkan penghematan besar dalam persediaan dan hasil maksimum dari pengeluaran promosi.
Pada tahun 2005 Wal-Mart mengembangkan sistem RFID (radio frequency identify) untuk menggantikan bar code. Tag RIFD berisi chip yang disertai informasi. Bar code hanya memberikan informasi produk untuk retailer saja seperti Wal-Mart, sedangkan RFID memberikan informasi tentang persediaan suatu produk baik kepada retailer maupun kepada supplier, selain itu RFID juga menginformasikan keberadaan suatu produk dalam rangkaian supply chain. Dengan informasi tersebut, supplier tahu kapan mereka harus mengisi ulang kembali produk mereka di toko. Penggunaan RFID dapat meningkatkan efisiensi suppy chain, mengurangi kosongnya persediaan suatu produk tertentu, mencegah pencurian dan pemalsuan barang.
Strategi Pertumbuhan
Strategi pertumbuhan yang digunakan Wal-Mart adalah menggunakan TI untuk mengalola perluasan bisnis secara regional dan global. Wal-Mart bisa mendapatkan suatu informasi setiap waktu dengan cepat, baik secara keseluruhan maupun secara terperinci, berkat sistem informasi mereka yang baik. Sistem satelit global yang mereka gunakan juga memungkinkan para eksekutif untuk melakukan “kunjungan” ke toko-toko atau pusat-pusat distribusi jika ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Mereka dapat duduk di studio televisi mereka dan ditayangkan lewat transmisi satelit ke toko-toko dan pusat-pusat distribusi mereka.
Strategi Persekutuan
Perusahaan-perusahaan seperti Wal-Mart mulai memperluas jaringan mereka ke para pelanggan dan pemasok mereka, agar dapat membangun sistem pengisian persedian secara berlanjut yang akan mengamankan bisnis mereka. Kondisi ini menciptakan sistem informasi antarperusahaan dengan internet yang menghubungkan proses bisnis sebuah perusahaan dengan pelanggan dan pemasoknya, yang menghasilkan sistem bisnis yang akan membentuk persekutuan baru bisnis. Hubungan e-bussiness yang bahkan lebih kuat dibentuk melalui sistem pengisian persediaan tanpa stok seperti yang dilakukan antara Wal-Mart dan P&G. Di sistem itu, P&G secara otomatis akan mengisi stok Wal-Mart atas berbagai produk dari P&G.
Strategi Barriers to entry
Wal-Mart melakukan investasi besar-besaran dalam sistem komputer yang lebih baik agar mereka bisa melacak penjualan, barang, dan inventaris, terutama untuk transaksi setiap toko. Mereka juga melakukan investasi dalam sistem satelit yang merupakan salah satu competitive advantage mereka yang paling besar. Dengan sistem satelit ini, mereka semakin cepat mendapatkan informasi sehingga dapat ditindaklanjuti dengan cepat. Mereka telah menghabiskan hampir $700 juta dalam membangun sistem komputer dan satelit ini. Namun hasilnya sepadan dengan jumlah yang mereka keluarkan. Teknologi informasilah yang membantu para manajer toko memahami arah kerja mereka. Database mereka merupakan yang terbesar di dunia yang dimiliki oleh pihak sipil. Hal ini merupakan penghalang bagi mereka yang mencoba untuk masuk dalam industri ini, karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk bisa bersaing dengan Wal-Mart bukanlah jumlah yang kecil.
Do you really know what goes into your food? Did you know that if you consumed an apple you would be eating over 30 pesticides, even after you have washed it? Also don't forget about the anti-biotics and hormones that cattle and poultry are force fed. What happens to those chemicals when the animal dies? It is digested and stored in human bodies.
Everybody wants to be healthy. It can be accomplished by conduct a healthy life style, includes eating healthy food. “We are what we eat.” If we eat nutritious food, we’ll get a healthy body. Thus, we must be able to choose the right food. The question then will be what kind of food is good for us? Organic food is the answer. Organic food defines as crops and animals which are produced and fed with natural food and without the use of chemical additives. In this term, I want to discuss about the advantage of consuming organic food, why organic food is better for us.
First of all, organic food is free of pesticide. I’m sure that all of you must be know about the harm of pesticide residue to our body. In long term, residue of pesticide can cause cancer, genetic mutation, neuron system disorder, obesity and some birth defects. Almost 1,4 million cancer case in the world caused by pesticide. According to UK Agricultural Department, 93% of non-organic oranges analyzed contained pesticide residues, 78% of apples analyzed contained pesticide residues, 43% of all fruit and vegetables analyzed had detectable levels of pesticides, 50% of lettuce contained residues from 7 or more chemical, 71% of cereal bars with residues, 83% of oily fish showed pesticide residues. Organic food can reduce the bad effect of pesticide and other poisonous chemical to our body as it is free or contain less chemical residue.
Secondly, organic food contains more nutrition than inorganic ones, so it is healthier. Logically, it means that organic food helps growth and regeneration died cells better than inorganic food. The quality of food has definitely gone down since the Second World War. For instance, the levels of vitamin C in today’s fruit much less than it were found in wartime fruit. You will have to eat more fruit nowadays to make up the deficiency, but unfortunately that means eating more chemicals. An experiment shows that organic food contain higher vitamin C, (and perhaps iron and magnesium), and contain less unwanted and potentially toxic nitrates.
The last one is, the organic food is more taste than the inorganic ones. FAO reported that organic apples were firmer and received higher taste scores than inorganically grown apples. Another study showed that organic tomatoes were sweeter and organic carrots had more "carrot taste". It proves that, at least for some foods, the organic form can taste better than the inorganic ones.
References :
- www.bfa.com.au
- www.organicfoodinfo.com
- www.nutritionaustralia.org
- www.kompas.com
- www.pikiranrakyat.com
- www.cfact.org
- www.princeton.edu
- babyfit.sparkpeople.com
- www.republika.co.id
Wahyu Kusumaningrum
Gadjah Mada University (2007)
Since there are so many company which doing their business without the implementation of ethics values and without considering the implication of their operation to the environment, Corporate Social Responsibilities issue is being the hottest topics these recent years. There are so many demand from the society to the companies which doing their business unethically to do their business ethically and more responsible. This condition makes many companies, which do not care about CSR, begin to consider CSR as a part of their business operation. Many seminars also held to discuss about this topic.
CSR concept begins from an idea that a company’s purpose in doing their business is not only to get profit as high as possible, but the company also has a responsibility to their environment. They responsible to both the stockholder and the stakeholder. According to this concept, a company in making its decision and policy must consider not only economics and financial aspect but the social and environment aspect as well and other parties, which affected by the implication of the decision or policy.
This concept also strengthens by an idea that a company cannot act as an economic entity, which separated from the society anymore. The awareness about the importance of CSR concept is being the global trend gets along with the development of the company’s awareness to give priority to the stakeholder. (Handoyo and Djajadiningrat)
However, many people still consider this concept as a philanthropic. In fact, CSR is more than just a philanthropic. CSR concept is a continuity commitment of the business, it is not like a “hit and run” philanthropic. World Council for Sustainable Development defines CSR as “continuation commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and social at large”.
According to the World Bank, CSR is “a commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”.
While, according to European, CSR is”a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholder on voluntary basis”.
Generally, those definitions explain CSR as continuing business commitment to doing their operation ethically for both internal (employee) and external parties (local community and society) and integrating social and environmental aspect to the business operation and its interaction with the stakeholder on voluntary basis. It is also said that CSR gives positive implication for economics development and for the business itself.
Actually, CSR is a part of corporate ethics. An action is considered as an ethical action if it meets the three requirements. First, an action is considered as an ethical action if the action gives more benefit rather than its disadvantage. Secondly, the action must respect the human rights. And the last, the action must be fair, a justice refers to balance between someone’s rights and his/her obligation. (Zuhroh)
One of the important aspects in the corporate ethics is to enforce the business ethics in the business and natural environment. The integration of ethics value in those environments is very significant to ensure the sustainability of the business itself. The environment here includes the government, the society and the nature.
Properly implemented CSR program requires an accurate planning process. According to Sugiarsono, there are four steps in implementing CSR program in the company. They are need assessment, planning, implementing and monitoring, and evaluating.
The first step in arranging CSR program is assessing the society’s needs. This step must involve the society to make an accurate assessment about what they really need. If this assessment only conducted by the company, the CSR program may not be suitable for the society.
After assesing the society’s needs, the company arrange the CSR program. This planning include plan the activity, the budget, evaluating indicator, and designate people to run this program.
The third step is implementing and monitoring. In actuating the CSR program, the company should be assisted by the expert consultant in the certain field. The consultant could be a practitioner, research institution or from university. This associate has a significant role to control the implementation of the CSR program, because it will be possible there are many constraints in the implementation.
The last step is evaluating. In this step, the company evaluates CSR programs that had conducted. The evaluation can be done by doing a survey or visit the area. Beside that, it is also needed to match the evaluation result between the internal and external part, so that the result is more objective. The management is required to make a report of the CSR program. The evaluation result is used as a based on arranges the next CSR program.
The company can get many benefits if they consider CSR as a part of their business operation. Doing responsible practices to the social and environment will increase the value of the stockholder, result in the increasing of financial achievement and guarantee a sustainable success of the company. (Fajar)
Susanto explains that CSR program will guide the company to enforce the strong ethics value. They can build stronger relationship with the society. For the addition, CSR also will create a good image for the company.
Beside that, implementing CSR concept in the business operation can increase the customer loyalty and reduce social risks. The company also will get employees’ loyalty. Thus, it will support the performance of the company.
In Indonesia, the CSR concept was brought by the multinational companies and then followed by other domestic companies in Indonesia. According to the CSR survey held by SWA magazine in 2005, on the policy side, many companies have included the CSR concept as their social responsibility purpose such as stakeholder interest, sustainable development and care about environment and society. Explicitly, 48.8% of the respondents have put these elements into the company’s vision and mission. For example, PT. Kaltim Prima Coal states the intention to make a good relationship with the stakeholders in its vision and mission.
From the program’s continuity perspective, many companies begin to make long-term activities. 19% of participants claimed that they run 3-5 years programs, and 6% of participants run 6-7 years programs. Moreover, some of them have established the particular department to handle the CSR program, such as PT Riau Andalan Pulp & Paper with its Community Development Department, which is established in the middle 2005, and Unilever with its foundation.
From the survey to 45 companies in Indonesia, SWA magazine gives an award to PT Kaltim Prima Coal (KPC) as “Outstanding Recognition for All Programs from All Categories”. KPC uses “CSR as social license to operate” as its approach. The CSR programs in this company have been implemented since this company was established in 1992. They had established special division named “External Affairs and Sustainable Development” to handle the CSR implementation in this company. They also cooperate with a number of qualified consultants to make a better CSR program. They have made many programs not only short-term program but long-term program as well. These programs always based on three principles, which are sustainability, self-reliance and community participation.
Finally, the company responsible not only to the stockholder, but also to its stakeholder. The company should consider the implication of all taken policy and decision. CSR is one approach to implementing the social responsibility to the business operation. CSR is an integrated aspect with the corporate ethics so that it existence is very significant for the sustainability of the company. By doing the business ethically, the company will be able to manage its business well and get the positive result.
Works Cited
- Fajar, Rudi. ”Spektrum Pelaku CSR”. Majalah SWA. 30 May 2005. 6 May 2007.
- Handoyo, A.P. and S.T. Djajadiningrat . ”Peran Corporate Social Responsibility Sebagai Upaya Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Lokal di Bidang Ekonomi.” MBA-ITB Business Review 2 (2006) : 53-62.
- Sugiarsono, Joko. “Jurus Jitu Mempraktikkan CSR.” Majalah SWA January. 2006: 66-68.
- Susanto, A.B. ”Mengembangkan Corporate Social Responsibility di Indonesia.” Jurnal Reformasi Ekonomi 4 (2002): 8-12.
- Zuhroh, Siti. “ Upaya Mengembangkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Suatu Pendekatan Etis.” Jurnal Eksekutif 3 (2006): 122-127.
just another journal of me...
enjoy it...
semoga bermanfaat bagi semua nya...
selamat membaca...