Ruang Tunggu

Just Another Journal of My Life

Penilaian Aset dalam Perhitungan Zakat: Historical Cost Vs Current Value

Oleh : Wahyu Kusumaningrum
Universitas Gadjah Mada (2009)

I. Pendahuluan

Islam menekankan pada keadilan sosial. Pembayaran zakat merupakan salah satu contoh penekanan tersebut. Zakat merupakan salah satu dari lima pilar dalam Islam. Akuntansi memainkan peranan yang sangat penting bagi Muslim untuk memenuhi kewajiban membayar zakat tersebut. Informasi akuntansi memungkinkan tiap-tiap individu menghitung jumlah kewajiban zakat yang harus mereka bayarkan. Literatur mengenai pengaruh Islam terhadap akuntansi pun telah berubah dari studi normatif yang berfokus pada penyediaan informasi ke membantu stakeholder dalam perhitungan zakat.

Masalah yang kemudian muncul adalah dasar penilaian apakah yang seharusnya digunakan untuk perhitungan zakat. Beberapa ahli mendukung penggunaan historical cost yang dinilai lebih reliable dan verifiable. Namun demikian, banyak ahli yang berpendapat bahwa current value-lah yang seharusnya digunakan dalam perhitungan zakat.

II. Pembahasan
a. Tujuan Pelaporan Keuangan dalam Akuntansi Islam
Gambling dan Karim (1986) seperti yang dikemukakan kembali oleh Napier (2007) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi komunitas Islam yang kemungkinan mempengaruhi sistem akuntansi Islam dan kebutuhan pengguna Islam terkait pelaporan keuangan. Faktor-faktor tersebut meliputi:
  1. Pengaruh Al Quran dan Sunnah bagi penyusun dan pengguna laporan keuangan
  2. Pelarangan riba
  3. Penggunaan specially-structured transaction untuk menggantikan perjanjian konvensional yang melibatkan riba
  4. Kewajiban fundamental muslim untuk membayar zakat
  5. Kepentingan cendikiawan dan ahli hukum Islam

Karena motivasi utama pelaporan keuangan menurut Gambling dan Karim adalah sebagai penyedia informasi yang relevan untuk perhitungan zakat, konsep konservatisme tidak relevan untuk tujuan pelaporan akuntansi Islam, begitu juga dengan penggunaan historical cost yang dijustifikasi oleh konsep konservatisme. Selain itu, klasifikasi aset dalam neraca seharusnya dilakukan sebagaimana klasifikasi kekayaan yang menjadi subyek zakat. Penilaian aset lancar berdasarkan nilai pasar akan menyebabkan pengakuan selisih antara nilai pasar dan nilai historis dalam laporan laba rugi; selisih ini merupakan subyek zakat. Gambling dan Karim juga berargumen bahwa karena sistem akuntansi yang didasarkan pada perhitungan zakat seharusnya menganalisis semua transaksi menurut pengaruhnya terhadap aset, utang, dan ekuitas, maka fokus pelaporan keuangan Islam akan bergerser dari pendekatan pendapatan-biaya ke pendekatan aset-utang.

Selain itu, pengenaan zakat akan menempatkan penilaian aset dalam konteks religious. Dasar penilaian yang seharusnya digunakan adalah nilai pasar saat ini. Banyak item dalam neraca konvensional yang juga tidak memiliki real-world-referent dan tidak merepresentasikan kekayaan dalam pengertian yang sesugguhnya (sehingga bukan menjadi subyek zakat). Oleh karena itu, aset-aset seperti goodwill, income tax benefit, dan biaya yang dikapitalisasi tidak memiliki tempat dalam rerangka kerja akuntansi Islam yang berfokus pada zakat. Penekanan pada zakat menyebabkan neraca yang dihasilkan dari sistem akuntansi konvensional tidak sesuai sarana kebutuhan informasi keuangan Islam.

b. Konsep Zakat dalam Islam
Dalam pandangan Islam, semua harta adalah milik Allah SWT dan oleh karenanya manusia wajib mengolah dan mengembangkannya sehingga dapat member manfaat dan kesejahteraan bersama. Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur tegaknya syariat Islam. Hukum menunaikan zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Ayat-ayat Al Quran yang mendasari hukum wajibnya zakat antara lain:

Al Baqarah 110 : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

At Taubah (103): “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ar Rum (39): “Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alloh. Dan yang kamu berikan kepada zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Alloh, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan hartanya.”

Zakat memiliki banyak hikmah, antara lain:
  1. Menolong kaum dhuafa untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehingga mereka mampu menjalankan kewajibannya terhadap Allah SWT.
  2. Memberantas penyakit iri hati yang biasa timbul ketika melihat kelebihan orang disekitar.
  3. Mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikan jiwa.
  4. Menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam.
  5. Distribusi social harta dan keseimbangan dalam kepemilikan harta.
Jenis kekayaan yang wajib dizakati adalah binatang ternak, emas dan perak, harta perniagaan, hasil pertanian, kekayaan laut, serta rikaz. Namun demikian, perkembangan perekonomian yang kompleks menimbulkan banyak sekali bentuk harta kekayaan yang dapat dikenakan zakat. Sektor-sektor dalam perekonomian modern merupakan obyek penting dalam pengenaan zakat kekayaan. Sektor industry merupakan sektor yang terus berkembang sehingga sektor ini memberikan sumber zakat yang besar dalam perekonomian modern. Perusahaan yang dimiliki muslim dapat dikenakan zakat karena suatu perusahaan mengalami suatu perkembangan harta dari aktivitas bisnisnya dan perusahaan dapat bertindak sebagai amil dalam pembayaran zakat para pemiliknya sebelum laba dibagikan kepada para pemilik.

c. Subyek Zakat Perusahaan
Zakat dibayarkan atas kekayaan bukan tergantung apakah ada laba yang telah dihasilkan atau tidak, tetapi zakat dibayarkan hanya atas “growing capital”. Pertumbuhan (grow) didefinisikan sebagai keuntungan yang atas aset tetap dan aset lancar baik yang sudah terealisasi maupun yang belum terealisasi. Untuk menentukan subyek zakat, maka perlu dilakukan pemisahan atas aset. Aset diklasifikasikan menjadi capital asset dan stock of inventories. Capital asset (fixed asset) seperti peralatan dan mesin digunakan dalam operasi bisnis utama perusahaan, sedangkan stock of inventories (current assets) digunakan untuk dijual kembali. Zakat dibayarkan atas kas, sediaan, piutang, dan sekuritas dikurangi semua utang terkait item-item tersebut. Semua keuntungan baik yang sudah terealisasi maupun belum terealisasi wajib dikenai zakat. Namun demikian, untuk kepentingan distribusi, hanya keuntungan yang telah durealisasi atas aset tetap dan aset lancar yang dapat didistribusikan sebagai deviden. (El-Badawi dan Al-Sultan, 1992)

Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa zakat dibayarkan atas net working capital. Akan tetapi, konsep akuntansi atas net working capital tidak sama dengan konsep teologis “growing” capital. “Growing" capital hanya akan sama dengan net working capital pada dua situasi. Yang pertama adalah jika tidak terdapat pendanaan utang jangka panjang atas aset lancar. Yang kedua adalah ketika tidak terdapat pendanaan jangka pendek atas aset tetap. Namun demikian, kedua skema pendanaan aset tersebut sangat jarang terjadi sehingga dapat dikatakan bahwa zakat dihitung atas net working capital.

El-Badawi dan Al-Sultan (1992) menyatakan bahwa aset wajib dikenai zakat jika memenuhi kondisi-kondisi berikut:
  1. Kepemilikan penuh atas aset tanpa ada pembatasan.
  2. Aset tersebut tumbuh atau dimaksudkan untuk tumbuh.
  3. Aset tersebut telah memenuhi nisab.
  4. Aset telah melebihi kebutuhan personal dan perdagangan.
  5. Aset tersebut bebas utang.
  6. Aset tersebut telah dipegang selama minimal satu tahun.

d. Penilaian Aset untuk Perhitungan Zakat
Prinsip penilaian aset untuk menentukan jumlah kewajiban zakat telah ditetapkan dalam syariah. Namun demikian, apa yang dijelaskan dalam syariah hanyalah panduan secara umum. Oleh karena itu, para ahli hukum Islam belum memiliki kesepakatan mengenai metode penilaian aset untuk menentukan jumlah kewajiban zakat. Beberapa ahli hukum menyarankan penggunaan nilai jual pada hari dimana jumlah zakat ditentukan, sementara ahli lain memilih menggunakan yang lebih rendah antara kos dan nilai pasar.

Beberapa cendikiawan Islam telah mendukung penggunaan historical cost. Namun, sebagian besar ahli hukum menyarankan penggunaan current value atas aset menurut harga jualnya karena hal ini sesuai dengan konsep growing capital, baik yang riil maupun estimasi.

Historical Cost dalam Paradigma Akuntansi Islam
Menurut konsep historical cost ini, aset dicatat pada jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan pada saat akuisisi aset tersebut. Kewajiban dicatat pada jumlah yang diterima dalam pertukaran obligasi. Argumen terhadap penggunaan metode penilaian ini adalah bahwa historical cost dapat dibuktikan dan objektif. Namun demikian, konsep ini telah menarik kritikan yang kuat. Kekurangan utamanya tampak dari efek perubahan harga yang timbul baik karena perubahan umum dalam daya beli dan perubahan relatif terhadap harga dari suatu item spesifik.(Napier, 2007)

Adnan dan Gaffikin (1997) mengkritik konsep historical cost dengan dasar bahwa konsep tersebut dapat menyesatkan dalam artian memberikan nilai yang telah usang. Akuntansi yang menyesatkan dianggap tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dalam bisnis dan masyarkat.

Sebagai tambahan, konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Current Value dalam Perhitungan Zakat
Isu mengenai penggunaan current value telah muncul sejak AAOIFI pertama kali didirikan. Pertimbangan religius dan praktikal memilih untuk mengacuhkan konsep tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan historical cost. Namun demikian, penilaian menggunakan current value tetap disyaratkan untuk perhitungan zakat, sebagaimana dinyatakan oleh AAOIFI dalam pernyataan konsep.

Zakat dihitung berdasarkan nilai aset yang dimiliki. Penggunaan historical cost dinilai kurang relevan dalam perhitungan zakat karena historical cost tidak mencerminkan nilai kekayaan yang sesungguhnya yang menjadi subyek zakat. Oleh karena itu, banyak ahli yang menyatakan bahwa seharusnya akuntansi Islam yang berorientasi pada zakat seharusnya menggunakan current value sebagai dasar penyusunan laporan keuangan. Mengutip hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Value at current value (market price) and then pay zakah (on it)”.

Beberapa ahli seperi Gambling dan Karim menyarankan penggunaan Chamber’s CoCoA (Continuously Contemporary Accounting) untuk tujuan penilaian. Dasar penilaian aset dalam CoCoA adalah nilai setara uang atas aset. Nilai pasar saat ini dari aset dapat diinterpretasikan berdasarkan perkiraan nilai rata-rata dari serangkaian transaksi yang terjadi atau akan terjadi jika perusahaan membeli atau menjual suatu aset. Penilaian aset tidak bergantung pada satu transaksi kos historis yang terjadi ketika perusahaan membeli aset tersebut.

Penggunaan current value accounting dalam pelaporan perusahaan Islam dianggap sebagai salah satu metode perluasan akuntabilitas perusahaan ke dalam domain sosial. Penggunaan current values untuk menentukan zakat memberikan dukungan yang lebih besar atas prinsip-prinsip keadilan Islam daripada penggunaan historical cost dalam neraca.

Hal lain yang mendukung penggunaan current value adalah praktek yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Menurut Clarke (1996) nilai pertukaran dihasilkan dari penggunaan denominator keuangan implisit pada masa Rasulullah untuk menentukan nisab atas berbagai macam aset yang menjadi subjek zakat. Selain itu, akuntansi Islam tidak mendukung konsep konservatisme yang dianut oleh Barat karena dengan menganut konsep ini maka akan lebih sedikit zakat yang dibayarkan dehingga akan berdampak terhadap anggota masyarakat miskin. Oleh karena itu sangat penting untuk menentukan kekayaan yang sesungguhnya.

Namun demikian, beberapa ahli akuntansi Islam berpendapat bahwa penggunaan current values melanggar tandeed principle. Menurut konsep ini, seharusnya tidak ada distribusi laba dari transaksi komerisal hingga pengembalian modal yang diinvestasikan dalam transaksi. Penggunaan current value menyebabkan pendistribusian laba sebelum adanya pengembalian modal. Namun demikian Shihadah (1987) melihat bahwa pengembalian modal dalam tandeed principles lebih merupakan konsep yang riil atau ekonomis daripada sekedar pengembalian modal nominal dan oleh karenanya penggunaan current value lah yang seharusnya digunakan. Baydoun dan Willet (2000) mengakui masalah paraktik terkait current values dan menyimpulkan bahwa laporan keuangan Islam seharusnya meliputi dua neraca, yaitu neraca yang menggunakan historical cost dan neraca yang menggunakan current values. Sistem ganda dalam penilaian asset ini memungkinkan perusahaan mengakomodasi kontrak dan untuk melaksanakan kewajiban sosial perusahaan.

III. Simpulan
Dalam Islam akuntansi digunakan sebagai sarana bagi umat muslim untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam pembayaran zakat dan pada akhirnya untuk mencapai keadlian social dan ekonomis. Oleh karena itu laporan keuangan seharusnya mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Masalah yang kemudian muncul adalah dasar penilaian apa yang harus digunakan dalam menilai aset yang menjadi subyek zakat. Beberapa ahli menyarankan penggunaan current value, karena pendekatan ini dinilai lebih menggambarkan jumlah kekayaan sesungguhnya yang merupakan subyek zakat. Namun demikian, laporan keuangan masih harus disusun berdasarkan historical cost karena kurangnya reliabilitas current value. Oleh karena itu disarankan untuk menyajikan kedua laporan tersebut sebagai bagian yang saling melengkapi dalam pelaporan keuangan Islam.

***

Daftar Pustaka

  • Al Qur’anul Karim
  • Askary, Saeed. Accounting Measurement in Religious Perspective: Conservatisme or Optimisme?.
  • El-Din. 2004. Issues in Accounting Standards for Islamic Financial Institutions.
  • Maliah. 2003. The Influence of Riba and Zakat on Islamic Accounting. Indonesian Management and Accounting Review. Vol 2 (2). Hal 149-167.
  • Mirza, Malik dan Nabil Baydoun. 1999. Accounting Policy Choice in An Interest-Free Environment.
  • Napier, Christopher. 2007. Other Cultures Other Accounting? Islamic Accounting From Past to Present. Kanada: 5th Accounting History International Conference.
  • Rahman, Shadia. 2007. Islamic Accounting Standard. Diakses dari http://islamic-finance.net/islamic-accounting/acctg5.html.
  • Riyanti, Endang. 2007. Analisis Aplikasi Metode Perhitungan Zakat Perusahaan Studi Kasus PD Lisha Mart. STEI SEBI.
  • White, Lynn Spellman. 2007. The Influence of Religion on the Globalization of Accounting Standards.

Cost Vs Market Based Pricing


Cost-based pricing adalah metode penentuan harga dimana harga suatu produk didasarkan atas besarnya kos produk ditambah dengan mark-up keuntungan yang diinginkan. Sementara itu, market-based pricing merupakan kebalikan dari cost-based pricing. Dalam market-based pricing harga suatu produk ditentukan berdasarkan pada harga yang bersedia dibayarkan oleh konsumen atas suatu produk. Baik cost-based pricing dan market-based pricing dapat digunakan pada situasi dan keadaan yang berbeda. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi pricing tersebut.

Roger J. Best Model
Dalam bukunya "Market-Based Management", Best mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai strategi pricing mana yang seharusnya digunakan oleh perusahaan. Best menggunakan dua parameter dalam modelnya yaitu customer intelligence dan competitor intelligence.



  1. Cost-based pricing. Pada kondisi ini perusahaan hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai pricing competitor dan perusahaan tidak mengetahui dengan jelas seberapa besar kesediaan konsumen untuk membayar. Merupakan metode yang paling umum digunakan, berfokus pada pendekatan internal. Harga didasarkan pada kos produk/jasa + jumlah margin yang diinginkan.
  2. Customer-reactive pricing. Pada kondisi ini perusahaan kemungkinan mengubah harga produk jika adanya tekanan dari kustomer. Kustomer akan mengatakan bahwa mereka mendapat harga yang lebih baik dari competitor X, dan karena perusahaan tidak memiliki pemahaman mengenai produk kompetitor (harga dan nilai), hal ini akan menjadi tekanan bagi perusahaan menurunkan harga mereka.
  3. Competitor-reactive pricing. Pada kondisi ini perusahaan tidak/kurang mengetahui apa yang customer pikirkan mengenai perceive value dan kesediaan untuk membayar atas produk mereka. Oleh karena itu, untuk memenangkan persaingan perusahaan cenderung mengikuti harga yang digunakan oleh kompetitor.
  4. Market-based pricing. Pada kondisi ini perusahaan memiliki pengetahuan yang cukup banyak mengenai kustomer dan kompetitor. Perusahaan akan menetapkan harga produknya berdasarkan pengetahuan tersebut untuk bisa bersaing di pasar.

Faktor-faktor Lain
Selain kedua faktor yang disebutkan dalam model di atas, beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap pemilihan kedua strategi pricing tersebut antara lain:

Jenis produk yang dijual
Jika produk yang dijual adalah produk yang sulit dideferensiasi maka satu-satunya alat untuk bersaing adalah dengan menggunakan harga. Oleh karena itu perusahaan cenderung menetapkan harga mereka berdasarkan harga pasar. Sementara itu jika jenis produk dapat didifferensiasi maka perusahaan dapat menentukan harga berdasarkan kos produk karena produk yang ditawarkan memiliki keunikan dibanding produk kompetitor.

Strategi yang digunakan perusahaan
Jika perusahaan menggunakan price leadership sebagai strateginya maka perusahaan cenderung menetapkan harga berdasar harga produk yang paling rendah di pasar untuk memenangkan persaingan. Jika perusahaan menggunakan differensiasi maka perusahaan bisa menciptakan keunikan sendiri pada produknya untuk menciptakan nilai tambah yang tidak didapat dari produk lain dan men-charge harga yang lebih tinggi atas produk tersebut. Dalam hal ini, perusahaan akan lebih mudah menggunakan cost-based pricing.

Elastisitas permintaan produk
Jika suatu produk cenderung elastis, maka sedikit perubahan harga akan mempengaruhi jumlah permintaan. Pada kondisi seperti ini maka perusahaan cenderung menggunakan market-based pricing untuk melindungi jumlah penjualannya. Jika suatu produk bersifat unelastis maka perubahan harga tidak begitu berpengaruh terhadap jumlah permintaan sehingga perusahaan tidak dihadapkan pada situasi di mana mereka harus selalu mengikuti harga pasar. Untuk produk sejenis ini perusahaan cenderung lebih memiliki kebebasan dalam menentukan harga produk sehingga lebih cocok menggunakan cost-based pricing.

Pricing freedom
Jika terdapam kebebasan yang tinggi dalam menentukan harga maka perusahaan dapat menggunakan cost-based pricing. Tetapi jika kebebasan untuk menentukan harga sendiri sangat terbatas maka perusahaan cenderung menggunakan market-based pricing. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kebebasan dalam menentukan harga ini antara lain tingkat persaingan, ada tidaknya peraturan mengenai harga, barrier to entry, substitute product, dan brand equity.
  1. Tingkat persaingan. Jika tingkat persaingan semakin tinggi maka perusahaan akan semakin sulit untuk menentukan harga.
  2. Peraturan mengenai harga. Jika ada peraturan pemerintah yang membatasi harga suatu produk maka tidak ada kebebasan dalam menentukan harga.
  3. Barrier to entry. Jika barrier to entry tinggi artinya semakin mudah munculnya pesaing baru sehingga semakin sulit untuk bisa menentukan harga sendiri.
  4. Substitute product. Jika terdapat produk pengganti maka kebebasan perusahaan menentukan harga akan semakin terbatas, karena pelanggan bisa dengan mudah berpindah pada produk pengganti.
  5. Brand equity. Jika perusahaan memiliki brand equity yang tinggi maka kebebasan perusahaan dalam menentukan harga akan semakin tinggi.
Referensi:

  • Best, Roger J. Market-Based Management 4th Ed.Prentice Hall: New Jersey.
  • www.mspalliance.blogspot.com

Toyota Cost Reduction Programmes

Agar mampu bersaing di pasar global, Toyota terus menerus melakukan strategi cost reduction dari berbagai sudut pandang, meliputi pengembangan (desain produk), produksi (metode produksi dan sistem manufaktur), dan metode pembelian material. Filosofi umum Toyota dalam cost reduction adalah mengurangi pemborosan; membuang semua elemen yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk mereka.

Kanban System
Sistem ini mulai digunakan oleh Toyota sejak tahun 1960. Dengan sistem ini suku cadang komponen diantar ke assembly line menggunakan kontainer-kontainer. Setelah kontainer tersebut dikosongkan, kontainer tersebut dikirim kembali ke proses produksi sebelumnya. Kontainer yang kosong ini menjadi sinyal untuk kembali memproduksi suku cadang. Sistem ini meminimalkan work in progress dengan meningkatkan perputaran sediaan. Pengurangan buffer inventories ini juga mempercepat pendeteksian suku cadang yang rusak dan melacak kerusakan tersebut ke sumbernya sebelum terjadi kerusakan yang lebih banyak dalam proses produksi. Dengan sistem ini Toyota mampu melakukan penghematan atas kos sediaan mereka. Sistem Kanban ini tidak hanya mereka terapkan di pabrik mereka, Toyota juga mendorong para pemasoknya untuk mengembangkan sistem yang sama sehingga mereka dapat mengurangi inventory holding cost dan menghasilkan suku cadang dengan kos yang lebih rendah.

Supply Chain Management
Perakitan komponen hingga menjadi satu kendaraan yang utuh hanya merupakan 15% dari keseluruhan proses produksi mobil. 85% sisanya merupakan proses yang dibutuhkan untuk memproduksi seluruh komponen yang dibutuhkan oleh sebuah kendaraan. Supply Chain Management yang baik dibutuhkan untuk mengelola para pemasok agar bisa mendukung proses produksi dengan baik dan dengan biaya serendah mungkin.

Toyota bertujuan memproduksi mobil dengan harga pasar yang layak sehingga member nilai bagi pelanggan. Filosofi ini menyarankan agar usaha pengurangan biaya bukan merupakan kereta satu arah menuju biaya serendah mungkin. Toyota menetapkan biaya target bagi para pemasoknya. Para pemasok harus beroperasi pada harga di mana pelanggan membayar komponen tersebut. Tujuannya adalah untuk menghilangkan pemborosan, tidak hanya di pabrik Toyota tetapi juga di pabrik pemasok dan di sistem yang saling berhubungan di antara keduanya, misalkan di sistem logistic. Toyota dengan selektif memilih satu atau dua mitra strategis untuk setiap komponen dan mendorong persaiangan di antara mereka. Masing-masing akan memperoleh kontrak ekslusif untuk komponen satu model mobil, sehingga mereka khawatir akan kehilangan pangsa pasar Toyota di masa mendatang jika mereka tidak berkinerja dengan baik. Toyota mendorong para pemasoknya untuk terus berfoskus pada perbaikan proses berkelanjutan. Kontrak dasar untuk komponen akan dibuat untuk empat ata lima tahun dengan harga ditentukan di depan. Jika usaha gabungan antara pemasok dan Toyota ini sukses mengurangi kos manufaktur dan komponen, profit tambahan akan dibagi di antara mereka. Dan jika pemasok dengan usahanya sendiri berhasil menciptakan inovasi yang mengurangi kos, maka pemasok berhak mendapatkan profit tambahan yang dihasilkan dari inovasi tersebut selama masa kontrak. Dengan melakukan investasi dalam bentuk kemitraan pemasok, Toyota memperoleh pengurangan harga dalam jangka panjang dari pemasok tanpa mengorbankan kualitas.

Toyota juga membentuk asosiasi pemasok yang terdiri dari “first- tier supplier” dan “second-tier supplier”. “First-tier supplier” bertanggungjawab bekerja bersama-sama Toyota sebagai bagian dari tim pengembangan produk baru. Tiap-tiap “first-tier supplier” ini juga bertanggung jawab membentuk “second-tier supplier”. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam “second-tier supplier” diberi pekerjaan membuat suku cadang individual. Asosiasi pemasok ini berfungsi untuk saling berbagi informasi terkait rancangan maunfaktur baru, teknik manajemen material, serta teknik produksi di antara mereka.

The CCC21 Project—Leading the Way in Toyota’s Cost-Reduction Efforts
CCC21 (Construction of Cost Competitiveness for the 21st Century) merupakan proyek cost reduction jangka pendek yang diluncurkan oleh Toyota pada bulan Juli tahun 2000. Proyek ini bertujuan untuk mencapai cost reduction skala besar untuk sekitar 170 komponen yang mencapai 90% dari total kos pembelian komponen. Dalam proyek ini staf engineering, production engineering dan departemen pembelian bekerja bersama-sama dengan para pemasok suku cadang dan bahan baku mulai dari tahap perancangan komponen untuk meningkatkan standardisasi suku cadang dan menilai kembali metode manufaktur. Bersama-sama dengan pemasoknya, Toyota berusaha mencari suku cadang paling murah di seluruh dunia.

Toyota tidak mencari peluang peningkatan pada komponen dan tahapan manufaktur secara individual tetapi melihat kepada keseluruhan sistem, mengevaluasi keseluruhan sistem dan mencari komponen yang dapat dieliminasi. Proyek ini menekankan pada pembentukan kembali empat area yang berbeda yaitu perencanaan dan perancangan, produksi, pembelian, dan biaya tetap.

Selama lima tahun terakhir proyek ini telah berhasil menciptakan penghematan sebesar US$ 9 milyar. Sebagai contoh kecil, dalam perancangan pegangan pintu, dengan bekerja bersama-sama pemasok, Toyota berhasil mengurangi jumlah suku cadang dari 34 menjadi 5 suku cadang, yang memangkas kos pembelian sebesar 40% dan mengurangi waktu instalasi yang dibutuhkan dari 12 detik menjadi 3 detik.

Enhancing Quality and Flexibility through Global Body Line (GBL)
Selain CCC21, Toyota juga melakukan inovasi lain dalam bidang produksi untuk melakukan pengurangan manufacturing cost. Inovasi ini meliputi pengembangan perlatan produksi sendiri, desain produk yang memungkinkan mereka menyederhanakan proses dan mengurangi jumlah suku cadang dan mengembangkan teknologi dan sistem manufaktur.
Sistem GBL ini telah mendatangkan serangkaian manfaat meliputi:
  • 30% reduction in the time vehicle spends in the body shop
  • 70% pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi bagian kendaraan
  • 70% pemangkasan kos penambahan atau perubahan model
  • 50% pengrangan kos investasi untuk menciptakan lini produk baru

Selain itu, sistem ini juga telah berhasil mengurangi kos operasi dan perawatan serta menghemat penggunaan tempat produksi. Dengan adanya penghematan tempat tersebut, Toyota mampu menggandakan kapasitas pabriknya. Selain itu dengan sistem ini Toyota mampu memproduksi 8 jenis kendaraan yang berbeda dalam 1 assembly line.

Value Innovation (VI)
Pada bulan April 2005, Toyota memulai aktivitas Value Innovation (VI). VI merupakan bentuk perubahan dari CCC21 yang berfokus pada cost reduction selama proses pengembangan, bahkan sebelum blueprint. Melalui aktivitas ini, Toyota memperhitungkan secara seksama baik komponen individual maupun sistem secara keseluruhan. Toyota berusaha mengurangi jumlah komponen dengan mengintegrasikan komponen dan sistem yang memiliki fungsi yang sama dan mereview fungsi dan penempatan dari sistem tersebut. Mereka juga telah mengurangi jumlah komponen dan material yang digunakan tanpa mengurangi kualitas produk dengan mereview proses produksi yang sekarang telah distandarkan.


Referensi
  • Hill, Charles W L. 2004. “Toyota: Origins, Evolution, and Current Prospect” Strategic Management 7th Ed. Houghton Mifflin Company: Boston.
  • Liker, Jeffrey dan David Meier. 2005. The ToyotaWay Fieldbook. Mc Graw Hill: USA.
  • Toyota. 2002. Accelerating Evolution: Strengthening Cost Competitiveness. Toyota 2002 Annual Report.
  • Toyota. 2008. Solid Foundation For Future Growth. Toyota 2008 Annual Report.